Hubungi Kami

 

Sejarah Suku Kubu Jambi

SEJARAH SUKU KUBU JAMBI | MENGENAL MASYARAKAT SUKU KUBU | KABUPATEN SAROLANGUN BANGKO PROPINSI JAMBI | EFRIANTO S.Pd M.PD | PENERBIT SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN ( STKIP ) YPM BANGKO | TEKS TIDAK MENGALAMI PENGUBAHAN YANG BERARTI |
Sejarah Suku Kubu Jambi


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya jualah penulisan ini dapat diselesaikan dengan sederhana sekali , namun begitu rasanya sebagai awal permulaan dan sebagai inventarisir pertama penulisan tentang suku kubu di Sarko.

Dengan Keterbatasan penulis inilah , rangkaian kata dan bahasa dicoba dituangkan dalam lembaran-lemabaran cerita , serta penulis sadari bahwa yang mendorong/menolong dan memberi masukan dalam memotivasi kepada penulis utamanya adalah istri tercinta Ernawati Umar , dan jabang bayiku dalam kandungan , serta kedua orang tua dan saudara-saudaraku.

Untuk itu terima kasih penulis sampaikan kepada rekan sejawat Jangcik Mohza, S.Pd dan para mahasiswa STKIP YPM Bangko yang begitu susah payah memberikan informasi-informasi . Akhir kata penulis , semoga tulisan ini bermanfaat adanya.

Penulis

Motto :
Untuk tidak merasa terpaksa dalam menjalankan peraturan , jadikanlah peraturan itu sebagai kebutuhan kita. 
Efprianto , Skripsi , Juli 1994


Kupersembahkan untuk : 
Istri tercinta , orang tua dan saudara-saudaraku.

Didaftar :
Pada Tanggal , 16 April 1996
Nomor : 134 / Pustaka / IV / B-1996
Unit Perpustakaan STKIP YPM Bangko

Kepala
Drs. A.Thalib. AS
Kepala UPT
Drs.M.Syukurman

HAK CIPTA DAN ISI TANGGUNG JAWAB PENULIS

Alamat Penulis
Jl. Prof. Mo. Yamin, SH
Depan Aspol No. 05 Bangko
Telp. 0746-21790

Daftar isi | menyesuaikan laman artikel

MENGENAL MASYARAKAT SUKU KUBU DI KABUPATEN SAROLANGUN BANGKO PROP. JAMBI

http://www.youtube.com/v/BqmUNmZ7XK0?version=3&autohide=1&autohide=1&showinfo=1&feature=share&autoplay=1&attribution_tag=u4Uk4r0Ds7jRgMtp2FNv3Q Propinsi Jambi umumnya terdiri dari dataran rendah dan hanya sebahagian kecil saja yang merupakan daerah pegunungan . Daerah Pegunungan ini terdapat di Kabupaten Sarolangun Bangko , dan Bungo Tebo. Wilayah propinsi Jambi terletak disekitar garis lintang 1º 45' lintang selatan , 101º 55' Bujur Timur. Dengan Demikian diperkirakan 60% dari luas daerah Propinsi Jambi adalah dataran rendah yang terletak mulai dari Muara Tebo Kabupaten Bunge Tebo sampai bagian timur Propinsi Jambi. Relief daerah dari permukaan laut, sehingga dataran rendah sekali ini menimbulkan banyak rawa disebagian pantai sebelah timur. Dari seluruh dataran rendah tersebut 45% adalah dataran kerind dan 15% rawa-rawa (  Humas Pemda Tk. I Djambi Juni 1996)

Berdasarkan Sk. Mentri Kehutanan Nomor 46/KPTS-II/1987 pada tanggal 12 Februari 1987 luas keseluruhan Propinsi Jambi 53.435,72 Km² yang terdiri dari 6 ( enam ) daerah tingkat II.
Kota Madya Jambi Ibu Kota Jambi
Kabupaten Tanjung Jabung Ibu Kota Kuala Tungkal
Kabupaten Batang Hari Ibu Kota Batang Hari
Kabupaten Sarolangun Bangko Ibu Kota Bangko
Kabupaten Bungo Tebo Ibu Kota Muara Bungo
Kabupaten Kerinci Ibu Kota Sungai Penuh
Sejak berabad - abad yang lampau dalam propinsi Jambi, telah dihuni oleh berbagai suku bangsa, yaitu Suku Bangsa Kerinci , suku yang paling tua perpindahan sekitar 10.000 SM sampai dengan 2.000 SM . Suku bangsa ini tergolong suku proto Melayu  , kemudian suku bangsa melayu yang berasal dari pantai dan pedalaman Jambi antara tahun 2.000SM sampai dengan 500SM. Perpindahan yang kedua inilah Cikal bakal awal Sriwijaya dan kerajaan Melayu (Saudagar 1992). Kemudian Suku bangsa ketiga adalah Suku Bangsa Kubu, suku ini (Kubu) juga berasal dari Ras Mongoloid, rumpun bahasa melayu yang mendiami wilayah dataran rendah yang memiliki budaya dan sistim ekonomi serta tradisi yang berbeda-beda dengan suku bangsa sebelumnya. (Suku Kerinci dan Melayu)

Secara garis besarnya, dari dialek yang dipergunakan suku kubu tersebut mempunyai bahasa percakapan yang berasa dari diman suku tersebut asal mulanya , diantara bahasa yang dapat diperhatikan adalah :
Bahasa Melayu : menggunakan dialek Palembang (Sumatera Selatan), dipakai oleh Suku Kubu yang mendiami wilayah Batang Hari dan Tanjung Jabung.
Bahasa Melayu dialek Minang Kabau , dipakai oleh suku bangsa kubu yang mendiami wilayah Kabupaten Bungo Tebo, sedangkan
Bahasa Melayu dialek Rejang , dipakai oleh Suku Bangsa Kubu yang mendiami wilayah Sarolangun Bangko
(Saudagar, 1992)
Dalam Propinsi Jambi Suku Kubu berjumlah 14.089 jiwa tahun 1977, tahun 1991 Suku Kubu di Propinsi Jambi tercatat 9.900 jiwa . Hingga akhir tahun 1991 tersebut Suku Kubu tercatat sebanyak lebih kurang 2.3800 KK atau 9.157 jiwa (Zulkifli, 1991) Penurunan dan pengelompokan suku kubu ini, diperkirakan karena kesempatan untuk berkembang di hutan-hutan propinsi Jambi sudah mulai sempit, bahkan mungkin telah diupayakan pengembalian mereke ke-masyarakat yang wajar. Melihat luas Propinsi Jambi sudah mulai sempit, bahkan mungkin telah diupayakan pengembalian mereka ke masyarakat yang wajar. Melihat luar Propinsi Jambi yang luasnya 82,3% dan hutan hanya kira-kira 3.679.500 Ha yang terdiri dari
Area Hutan Lindung dan Suaka Alam
Area Hutan yang dicadangkan dalam produksi atau pembukaan pertanian
Hutan sekunder dan pada alang-alang
(Humas Pemda , 1960)
Dalam tulisan ini penulis mencoba membahas tentang suku bangsa kubu yang mendiami daerah tingkat II Sarolangun Bangko, bahkan mungkin tulisan ini merupakan perjalanan singkat keberbagai daerah transmigrasi dan pemukiman suku kubu di sipematang Kabau Kabupaten Sarolangun Bangko. Kalaulah nantinya ada pertentangan dengan berbagai tulisan sebelumnya , hal ini sangat wajar , karena pada saat ini suku kubu tersebut sudah melalang buana , sehingga tanpa sadar diantara mereka juga telah terjadi Asimilasi (pembauran) atas asal mulanya mereka , atau antar kubu yang ada tersebar diberbagai daerah tingakt II. Sehingga ini juga sedikit akan mempengaruhi adat kebiasaan mereka.

SUKU KUBU DI KABUPATEN SARKO

Suku Kubu yang mendiami hutan-hutan belantara di Kabupaten Sarolangun Bangko, tidak dapat dengan mudah untuk di klasifikasikan lagi karena hal ini disebabkan pada pola Nomaden mereka masih sebahagian besar dipakai. Dan gaya ini menyebabkan perjalanan mereka sampai pada wilayah  Tanjung Jabung , Batang Hari dan begitu sebaliknya, sehingga budaya mereka juga terjadi pergeseran sesamanya.

Hutan di Kabupaten Sarolangun Bangko (Sarko) lebih kurang 835.850 Ha tidak semuanya dihuni oleh suku Kubu tersebut. Masyarakat Sarko telah terbiasa memanggil Suku Kubu tersebut dengan panggilan akrab "sanak" . Namun secara umum kelompok tersebut dikenal dengan masyarakat Kubu, yang identik dengan masyarakat terasing. Menteri Sosial Republik Indonesia mendefinisikan masyarakat terasing adalah :
Sekelompok masyarakat suku atau sub suku m yang tinggal didaerah terpencil, terasing dan terpencar-pencar sehingga sulit terjadinya interaksi sosial dengan masyarakat diluar mereka yang lebih maju dan sebaliknya. Serta belum atau sangat sedikit terjangkau pelayanan pembangunan sehingga berakibat terjadinya keterbelakangan pada berbagai segi kehidupan dan penghidupan
(Inten Soeweno, 1993)
Ditinjau dari keterasingannya , masyarakat terasing dapat dikelompokan dalam 3 kategori yakni : Kelana , Menetap sementara dan Menetap , Mereka tinggal pada lingkungan yang berbeda-beda secara garis besarnya dapat dikelompokkan dalam 4 wilayah :
Dataran tinggi ; Suku Dani , ngalum di pegunungan Jayawijaya Irian Jaya.
Dihutan-hutan; Orang dayak punan, kenyah , bahau di Kalimantan, sakai dan anak dalam di Sumatera, Wang di Sulawesi Togutil di Halamahera dan baduy di Jawa Barat.
Pantai dan Rawa ; Orang asmat dan muyu di Irian Jaya , Akit dan Bonai di Sumatera.
Di laut seperti orang Baju dan SUku Laut di Riau.
(IInten Soewono, 1993).
Melihat pembagian secara umum untuk kondisi wilayahnya, maka suku anak dalam (kubu) dalam kategori ini berada pada suku terasing di wilayah hutan-hutan di Sumatera. Suku anak dalam merpakan suku yang hidup turun temurun dalam hutan sejak berabad-abad lamanya, kalau kita terjemahkan secara harfiah "kubu" dalam pengertian peperangan adalah sekelompok orang / masyarakat yang mempertahankan diri.

Berbagai tulisan ada yang menceritakan asalnya suku kubu ini adalah dari sekelompok orang/masyarakat yang takut dijajah oleh bangsa-bangsa luar pada zaman dahulu, namun hal ini tidak dapat/belum dapat dibuktikan secara ilmiah kebenarannya.

Kalau kita amati dan kita dengar dialek suku kubu yang ada di Sako ternyata, masih berbau bahasa minang, inilah yang saya maksud berbeda (bertolak belakang) dengan pendapat Saudagar,1992. Bahwa di Kabupaten  Sarko suku kubu tersebut menggunakan dialek Rejang. Ada beberapa peristiwa yang diceritakan asal kedatangan suku kubu tersebut menggunakan dialek Rejang, Ada beberapa peristiwa yang diceritakan asal kedatangan suku kubu tersebut semata-mata bertujuan melarikan diri ke hutan-hutan di Propinsi Jambi khusus di daerah Sarko tersebut , yang diharapkan dapat melindungi diri dari serangan penjajah, sehingga mereka masih dapat hidup bebas tanpa belenggu dan aturan. Keinginan ingin bebas inilah yang membawa mereka kepada kebebasan dialam rimba belantara, dan berkelana bertahun-tahun dan berabad-abad lamanya.

Kemudian adanya cerita Rang Kayo Hitam , yang dimulai dari peperangan antara Rang Kayo Hitam dengan tentara kerajaan Jambi. Pada waktu itu kerajaan Jambi diperintah oleh seorang ratu namanya Selaro Pinang Masak. Dalam peperangan itu Datuk Perpatih dari kerajan Minang Kabau membantu kerajaan Jambi, ia mengirim sepasukan balatentara yang kuat-kuat ke Jambi. Malang yang menimpa balatentara-tentara itu di tengah hutan kehabisan bahan makanan, beras dan lain-lain. Sedangkan jarak diantara kerajaan tersebut sangat jauh, dan mereka sangat malu untuk kembali pulang ke Minang Kabau, akhirnya mereka bersumpah tidak akan kembali ke Minang Kabu lagi, dan tidak akan pula meneruskan perjalanannya ke Jambi, mereka mengambil keputusan untuk tetap tinggal di dalam hutan rimba sampai sekarang ini. Mengasingkan diri inilah yang dinamakan mengkubukan diri dalam bahasa Minang sumpah tersebut adalah :

Ke udik dikutuk raja Minang Kabau
kehilir dikutuk raja jambi
Ke atas tidak berpucuk
ke bawah tidak berakar
ditengah-tengah dilarik (dimakan) kumbang'Jatuh ditimpa kayu bungkuk
( M. Sudarmanato, KA. 1977)

Pengertian sumpah ini adalah sumpah untuk tidak kembali pulang dan melanjutkan perjalanan tidak mungkin , biarlah "bertahan" atau mempertahankan diri untuk hidup dan mati , maka tempat wilayah tersebut berada di wilayah Bungo dan Sarko.

Kisah lain juga menuliskan, bahwa zaman dahulunya manusia bebas dan berkelompok, dalam kelompok inilah adanya kebebasan mengembara , tidak ada yang memimpin. Demikianlah hal mulanya dari Sumatera Barat bahwa manusia hidup bebas dan berdiam dalam kawasan alam yang indah , tidak terikat dalam suatu ikatan, aturan selain aturan kebiasaan mereka sendiri. Tersebut suatu tempat yang disebut "bukit Sitinjau Laut" di daerah Sumatera Barat . Di bukit itu dibangun sebuah balai yang panjangnya 9 (sembilan) depa , berlantai batang , cengkelung , atau puar dan beratap daun kemumu. Mereka mengadakan musyawarah untuk mengangkat seorang raja atau tetap berjenang, Dalam musyawarah diambil suatu kebijaksanaan yang disebut "Bakuak dan Ba-agiah" atau berpisah  berbagi bahwa, bagi yang menghendaki adanya pemimpin  (Raja) supaya turun dari balai melalui jalan depan , dan bagi yang menghendaki tetap berjenang ( berinduk semang) keluar dari jalan belakang.

Yang menghendaki adanya pemimpin (raja) yaitu keluarga balai jalan pintu depan berpendapat.
"Ka aia babungo pasia, ka ateh nan babungo kayu"
maksudnya adalah : manusia hidu harus adanya timbal balik yang sesuai dengan aturan , artinya setiap tindakan dan perbuatan serta kegiatan hidup yang diatur untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan yang dengan demikian berarti tentu ada yang memimpin dalam hal ini raja (pemerintah) tentu pula harus membayar imbalan yaitu Uperti (pajak) "Mambaia pajak tando alan nan barajo"

Dengan begitu kita dapat mengerti bahwa dari dahulu pada dasarnya kita sudah mengenal pajak, walaupun isitilah yang berbeda , termasuk tujua dan maksud adanya pajak. Golongan inilah yang termasuk masyarakat maju, yang mengakui adanya pemerintahan sebagai aparatur negara, seperti kita saat ini.
2.  menghendaki berjemang atau yang mempunyai induk semang, yang keluar balai melalui belakang berpendapat.
“Batok sikai badinding banea, baayam kuwau bakambing kijang, batamu sungai nan bakakam, dimano patang dimano malam, dimano panek dimano baranti”.
Artinya : Beratap daun rotan berdinding pohon kayu (kulit kayu), mempunyai ayam (ialah) burung kuwau, mempunyai kambing adalah kijang, bertemu sungai nan bakakam (nan banyak ikannya) dimana petang disitulah bermalam, dimana lettih disitulah berhenti”.
Demikianlah dalam kelompok ini adalah suatu keinginan yang mereka lakukan untuk tetap bebas, dan tidak terikat dengan raja (pemerintah). Karena adanya raja mereka, mereka akan diperintah dan dijajah. Dimana mereka senang disanalah mereka mengubu yaitu berkelompok mempertahankan diri, golongan inilah yang disebut suku bangsa kubu (Sojata, 1987).
Mengubu ini berakibat terjadinya sekelompok masyarakat yang terasing, yang mengakibatkan keterbelakangan disemua bidang kehidupan. Dengan berbagai cerita tersebut maka dapat kita katakan bahwa masyarakat suku bangsa kubu di kabupaten Sarko berasal dari Minangkabau.


TEMPAT TINGGAL DAN POLA KEHIDUPAN

Bukit 12 merupakan tempat yang telah disediakan oleh pemerintah sebagai tempat pembinaan suku anak dalam, sehingga diharapkan nantinya mereka tidak jauh tertinggal. Bukit 12 yang luas wilayahnya ±12.430 Km inilah mayoritas dari suku anak dalam tinggal. Mereka bercocok tanam dan berladang. Ladang yang mereka lakukan pun sangat sederhana sekali seperti ubi kayu, ubi  jalar, talas,dan pisang. Walaupun ada yang menanam karet tetapi tidak diatur dengan baik, apabila telah panen makan mereka meninggalkan begitu saja tempat tersebut.
Berburu juga selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka jadikan sebagai kesenangan dan mengisi waktu, diantaranya menunggu waktu panen. Binatang yang diburu tidak ada yang menjadi pantangan asalkan dapat dimakan. Terkadang disela-sela mereka berburu mereka juga mencari buah-buahan untuk dimakan dan mencari akar atau dedaunan untuk obat-obatan.
Perburuan yang dilakukan biasanya membawa seluruh anggota keluarga. Bahkan bermalam dibawah pohon-pohon atau semak belukar. Peralatan  yang digunakan untuk berburu adalah tombak, parang, pisau, dan panah.
Sementara anjing dalam kehidupan mereka unutk membantu berburu dan dijadikan hewan kesayangan. Semua binatang buruan tidak ada yang dijadikan pantangan untuk dimakan karena mereka tidak mengenal arti larangan dalam buruannya.
Mereka menikmati hasil buruan dengan cukup dipanggang diatas bara api atau direbus. Kadang-kadang hanya menggunakan asap, karena mereka menganggap dengan begitu dapat mengeringkan darah atau daging tersebut. Mereka menghabiskan hasil buruannya disaat itu juga dan dibagi-bagikan kepada yang lain hasilnya.

ADAT

Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, merupakan kekayaan akan budaya setiap suku yang ada, termasuklah suku kubu di Provinsi Jambi. Bayangkan saja oleh kita untuk masyarakat terasing saja diperkirakan masih terdapat ±1.500.000 jiwa yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Irianjaya (Inten, 1993).

Masyarakat kubu yang tinggal didalam hutan juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang dijadikan kepercayaan mereka, yang kesemuanya kita namakan adat-istiadat. Lebih jelas akan kita bedakan adat tersebut menjadi 4 :
1.       Adat yang sebenarnya adat (sebenarnya adat ) maksudnya yaitu pedoman hidup tertinggi dan paling bermakna, sifatnya mutlak sesuai dengan hukum alam.
2.       Adat yang diadatkan (diadatkan ) maksudnya yaitu undang-undang yang dibuat untuk mengatur masyarakat dan didasarkan kepada yang sebenarnya adat perundang-undangan. Ini dilakukan dengan musyawarah sesuai dengan alur yang patut yaitu menurut kebenaran yang diterima dan kepantasan.
3.      Adat yang teradat (teradat ) maksudnya yaitu peraturan terperinci yang dibuat ninik mamak, pemangku adat menurut masing-masing nagari sebagai pelaksanaan dari adat yang diadatkan. Ini sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
4.      Adat istiadat (Istiadat) yaitu peraturan-peraturan tentang kegiatan-kegiatan yang kongkrit/yang dapat dilihat dan daoat diraba dan tidak bertentangan dengan adat yang diadatkan (Dr. Nurtain, 1986).

Dengan begitu mereka tidak mempunyai keberanian untuk melanggarnya, wujud kebiasaan ini terlihat dalam tingkah laku, yaitu dengan memperlihatkan ketaatan dan kepatuhan kepada pemimpin atau kepala adatny. Perintah orang lain yang belum dikenalnya tidak akan didengarnya kalau tidak melalui kepala adatnya, dan apa yang menjadi titahnya itulah yang dikerjakan.
Andaikan terjadi pelanggaran suatu ketentuan, maka kepadanya diberikan berupa denda, berat, ringan sesuai dengan bentuk-bentuk kesalahan yang dilakukan. Dimisalkan kepada pemuda yang suka berkelahi, suka mengganggu teman, didenda dengan sirih seperangkat. Mengganggu gadis, istri orang didenda lebih besar lagi berupa “segala dua puluh lemak manis” yaitu beras, bahan makanan, lauk pauk, bahan pakaian, dan sebagainya yang berjumlah dua puluh. Yang dapat menjatuhkan besar kecilnya denda adalah kepala adat/suku, yang diawali dengan musyawarah yang tidak adanya pilih kasih atau membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Jangja waktu pembayaran biasanya tidak terbatas, bahkan bertahun-tahun, contoh adat kebiasaan.
Salah mata, mata dicungkil
Salah lidah, lidah digunting
Salah tangan, tangan ditetak
Salah kaki, kaki dipotong.
(M. Sudarmanto. KA, 1977)

Karena kebiasaan itu berasal dari minangkabau di sumatera barat, Raja Jambi merasakan adat terlalu keras dan kejam. Maka diubahlah bentuknya dengan sebutan teliti maka lambing sarko menjadi “Tali Undang Tambang Teliti” yang artinya Undang-undang yang dating dari sumatera barat, diteliti kembali oleh sarko kesesuaiannya dengan kondisi sarko. Yang berbunyi :
Salah mata, mata kelapa dicungkil
Salah lidah, gunting lidah ayam
Salah tangan, tetak tangan (kaki kerbau)
Salah kaki, potong kaki kambing.

Kebiasaan-kebiasaan ini juga berlaku di masyarakat Kubu sekalipun awal kedatangan mereka dari sumatera barat.


PERKAWINAN


Perkawinan merupakan suatu yang sakral sekali bagi setiap orang, karena perkawinan merupakan suatu perubahan dari bujang dan gadis menjadi hidup bersama. Melepaskan status tersebut maka setiap orang dan daerah membuat suatu peristiwa itu dapat dikenang dan dijadikan tuntunan perubahan hidup masa selanjutnya. Sama juga halnya dengan suku kubu, yang mempunyai beberapa aturan (cara) kebiasaan turun temurun, diantara tulisan tentang itu adalah :

a.                  Diawali dengan Berbisik
Berbisik merupakan pengungkapan saat pertama seorang pemuda mengenal atau memilih calon pasangannya, biasanya seorang pemuda mencari kesempatan untuk mencari waktu yang tepat bertemu si gadis, apakah di ladang sedang menugal (membuang tunggul kayu kecil) atau waktu mengambil air di sungai. Kalau sudah sepakat maka dapat diberitahukan kepada keluarganya (orang tuanya).

b.                  Melambai atau melamar
Sebelum datang ke rumah gadis, untuk melamar biasanya di dahului dengan berunding yang membicarakan waktu akan melamar, dan siapa yang ditunjuk untuk melamar dan barang-barang yang akan dibawa. Supaya keluarga gadis bersiap-siap maka diutus dari pihak laki-laki untuk memberitahukan kepada keluarga gadis. Pembicaraan lamaran yang akan dirundingkan di rumah gadis harus diberitahukan kepada masyarakat, apakah diterima atau ditolak. Ini dimaksudkan untuk memberitahukan kepada masyarakat apakah lamaran terhadap gadis diterima atau ditolak, atau gadis tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain yang disebut dengan sirih tanya.



c.                   Pertunangan
Setelah kesepakatan diambil, maka dalam waktu yang ditentukan pihak keluarga pria mengatur Mudo (tando) yang berupa cincin dan bahan lainnya, hal ini disebut “Rebut sawar sarung kelihir”, yaitu :
Hendak kain ku bagi kain
Kain pembungkus setangkai padi
Hendak cincin ku bagi cincin
Cincin sebentuk tanda jadi.

Sujato, 1987 menyebutkan sebagai berikut :
a)                 Tidak karena mahar
Perkawinan berdasarkan mufakat kedua belah pihak orang tua calon mempelai, perkawinan berlangsung setelah adanya ketetapan mahar, biasanya besarnya mahar 20 (dua puluh) lembar kain, misalnya :
·         Belacu
·         Serung/pelekat
·         Batik, kain bagi masyarakat kubu melambangkan kekayaan yang sangat berharga.
b)                 Karena Pelanggaran
Selain atas mufakat orang tua, perkawinan dapat terjadi dengan mahar karena dalam pelanggaran atau melanggar :
·         Melanggar kehendak orang tua
·         Melanggar  adat
1.             Melanggar kehendak orang tua
Langgaran seperti ini sangat tercela, karena tidak disetujui oleh orang tua, bentuknya dapat berupa kedua pemuda-pemudi tetap akan kawin meskipun tidak disetujui. Atas kesalahan ini dikarenakan denda mahar lebih tinggi, misalnya 40 atau kain.


2.             Melanggar Adat
Denda terhadap pelanggaran adat juga berat, misalnya seorang pemuda duduk ditempat pemudi atas dasar suka sama suka, menurut adat kubu hal ini tidak boleh terjadi, bentuk denda sama melanggar kehendak orang tua. Maka dalam masyarakat kubu secara umum tidak ada sistem pinang (meminang) melainkan dasar suka sama suka antar kedua belah pihak orang tua dan mungkin keluarga. Yang menjadi tugas orang tua perempuan hanya meneliti terlebih dahulu terhadap calon pengantin laki-laki, biasanya tentang kemampuan/kesanggupan mencari nafkah, kejujuran, rajin bekerja dan perilaku sehari-hari.
Pelaksanaan acara perkawinan dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut “Tumenggung” dengan mempertemukan kedua kening (kepala) kedua calon mempelai, sebelum mempertemukan kedua kepala mempelai berdua ditutup dengan selembar kain. Tumenggung mendekati kedua calon mempelai sambil membaca do’a (mantera). Pada akhir do’a itulah kedua tangan tumenggung mempertemukan kedua kening calon mempelai.
Selanjutnya calon mempelai disuruh merebahkan dengan bentuk berhadapan yang diiringi nyanyian-nyanyian oleh orang banyak dengan berkeliling dipimpin oleh Tumenggung, Demikian berulang-ulang beberapa kali dengan demikian selesailah acara tersebut.
Esok harinya pengantin diperintahkan oleh tumenggung meninggalkan rumah untuk mencari nafkah yang disebut untuk mencari lauk. Apakah berhasil atau tidak, pada hari juga pengantin harus pulang. Biasanya kepulangan mereka jarang yang tidak mendapatkan hasil sekalipun kecil ini menandakan bahwa yang bersangkutan punya kemampuan untuk hidup dan penghidupannya, setelah kepulangannya besok harinya berjalanlah seperti hari-hari biasanya, maka sahlah mereka menjadi suami istri.
Ada pula bentuk dan cara perkawinan yang lain, selain yang tersebut diatas dengan cara meniti kayu dan membangun pondok (balai). Di Sarko biasanya menggunakan cara kedua yaitu membangun barak sebagai uji kemampuan dengan waktu yang telah ditentukan, dengan ukuran 7 x7 depa. Namun cara ini jarang digunakan lagi. Lain lagi suku kubu yang berada di wilayah Batang Hari, yang masih menggunakan cara meniti kayu yang kulitnya dikupas licin, dengan  ketinggian 1,5 meter. Kalau jatuh maka perkawinan dapat tertunda, hal ini dicoba berulang kali (M. Sudarmanto. KA, 1977).

KEHAMILAN DAN KELAHIRAN

Bagi istri yang hamil dibawah 3 (tiga) bulan, dipantangkan bagi suami untuk tidur bersama, kalau hal ini dilanggar kemudian diketahui oleh mertuanya, maka sang suami mendapat denda diantaranya berupa barang atau bahkan disingkirkan dari kehidupan pergaulan di masyarakat.
Kemudian dipihak istri juga banyak pantang. Pantangan-pantangan tersebut adalah :
·         Makan-makanan tidak dibenarkan yang panas, mentah atau pedas.
·         Tidak boleh jalan di dalam hujan dan berjemur pada waktu panas terik.
·         Tidak boleh mandi di waktu senja (atau waktu subuh dan termenung di depan pintu).

Bagi suami juga dikenakan pantangan lain diantaranya adalah :
·         Tidak boleh membunuh atau menganiaya binatang atau menyembelih.
·         Tidak boleh melangkah tulang gajah dan menggali lubang untuk cangak atau memukul tanah dengan batu atau benda tumpul untuk membuat lubang.
·         Menghindari permusuhan apalagi berkelahi.
Pada usia kehamilan sudah 6 (enam) bulan, maka diadakan upacara sirih badu yaitu dengan cara menginap dirumah dukun melahirkan, yang dimaksudkan bahwa dukun inilah yang nantinya akan membantu proses melahirkan. Terkadang memakai bantuan kayu selusuh. Guna memperlancar proses melahirkan tersebut yang berguna untuk bayi melintang atau bayi yang sudah mati dalam perut.
Selusuh dibagi 3 :
·         Selusuh batang, untuk melahirkan biasa
·         Selusuh akar, untuk bayi melintang
·         Selusuh bangkai, untuk bayi yang sudah mati didalam perut.

Peralatan yang digunakan untuk proses melahirkan atau untuk memotong pusar adalah :
·         Kulit tebu kapus
·         Sembilu bambu (kulit buluh yang tipis)
·         Kayu entebung
·         Serkit
·         Latar meranti
·         Rotan Keranting
Untuk mengikat usus bayi (pusar bayi) menggunakan batang yang dibuat dari serat kayu, kemudian ari-ari atau U ban atau bali ditanamkan. Upacara turun mandi pun dilaksanakan 1 (satu) bulan kemudian, termasuk ibu bayi untuk sungai yang terlebih dahulu dibacakan jampi-jampi (mantera) atau memberikan sesuatu untuk menjaga kesehatannya.
Pada usia 3 (tiga) tahun barulah diadakan upacara pemberian nama dan cukur rambut, yang dimulai dari kakek atau neneknya dan langsung diberi nama. Anak dalam 1 (satu) keluarga biasanya dibatasi hanya 3-4 orang. Cara untuk membatasi menjarangkan kelahiran juga digunakan ramu-ramuan hutan yang ada disekitarnya.



ADAT KEHIDUPAN

a.       Cara mendirikan Barak (Rumah) untuk tempat tinggal
Ada dua bentuk rumah yang digunakan oleh suku tersebut :
1.       Rumah untuk menetap
2.       Rumah dalam perjalanan (berburu)
Rumah untuk menetap (berladang) biasanya berukuran 7x7 depa yang dibangun oleh suami. Sementara rumah yang dibangun dalam perjalanan (berburu) dibangun oleh istri, yang berukuran kecil atau hanya cukup untuk anak dan istri saja dan terbuat dari daun-daun atau kayu-kayuan, ranting-ranting, dan tidak terlalu besar yang dibelah-belah.

b.                  Tanaman (Pohon) yang bermanfaat
Untuk pohon yang ditanam sendiri atau tumbuh sendiri dilarang untuk ditebang, hal ini melanggar adat. Barang siapa melakukan akan dikenakan hukumannya berupa denda, berat ringannya tergantung dari pengalaman anak tersebut. Kalau baru pertama kali melakukannya maka cukup kain 2 lembar, akan tetapi bagi yang telah mengetahuinya atau berulang kali maka akan dikenakan beberapa kali lipat.



PENGOBATAN

Masyarakat Kubu ysng tinggal dipedalaman hutan, juga mempunyai cara untuk mengobati orang sakit (khusus untuk sesama mereka). Pengobatan (penyembuhan) oleh mereka disebut “Bersale”. Cara ini dimaksudkan adalah memanggil “Hantu Salih” sebagai tempat mamanjatkan do’a mereka. Kegiatan bersale adalah dengan terlebih dahulu membakar kemenyan, dan diiringi nyanyi-nyanyian oleh seorang dukun. Tidak semua orang dapat menjadi dukun, dan dukun ini ada perempuan ada pula laki-laki, biasanya dukun perempuan tidak dibenarkan kawin, katanya agar salih dapat didekati dan do’a-do’anya dapat terkabul. Kegiatan nyanyian dalam bersale juga menggunakan gendang atau rebana.

Do’a yang diminta diantaranya adalah :
·         Do’a untuk penyembuh penyakit, yang kemasukan roh halus, jin, hantu dan membang
·         Do’a untuk penyembuhan penyakit luar atau untuk mempengaruhi orang lain. Seperti pelampiasan dendam, marah (luka-luka, gatal, kudis, dan balu lebam).
·         Do’a untuk mengutuk seseorang yang disakiti atau yang menyakiti mereka, ini digunakan jampi-jampi agar orang tersebut terkena kutukan. Diantaranya adalah memanggil mereka kubu, maka mereka mengadakan salih tersebut misalnya perut kambing, bengkak-bengkak, gila, dan lain-lain.
·         Do’a jampi-jampi, dilakukan pula untuk orang yang menyakiti mereka dengan meludah atau memperlihatkan kejijikan daj menutup hidung (merasa bau didepannya) maka mereka mengadakan jampi-jampi berbentu mulut gatal-gatal atau mengikuti mereka kedalam hutan.
Kegiatan bersale biasanya diadakan semalam suntuk, untuk pengobatan biasanya si sakit dibaringkan ditengah-tengah tempat upacara, kemudian dukun mulai melakukan “Berkasai" yaitu meremas-remas ramuan yang telah disediakan, kemudian diusapkan kepada yang hadir, dilanjutkan dengan membaca do'a (mantera) dan berpantun. Dukun menari-nari yang diiringi gendang sampai dukun mabuk seperti orang tak sadar, setelah dukun sadar kemudian si sakit di beri minum yang diramu dedaunan dan akar-akar. Begitu seterusnya hingga pagi.

PERCERAIAN

Perceraian bagi suku anak dalam (Kubu) merupakan hal yang sangat dilarang, karena hal ini pantangan, namun kalau pun hal ini tidak dapat dihindari, maka perceraian ini dapat dilakukan oleh ketua adat atau dukun. Syarat untuk kedua yang bercerai tersebut adalah dengan dihadapkan kepada kepala suku beserta keluarganya. Kegiatan ini disaksikan oleh masyarakat.
Untuk perceraian biasanya pihak yang akan mengajukan perceraian membawa rotan yang tua, yang ukurannya tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar (sedang), hal ini maksudnya posisi yang adil. Namun bila terlalu kecil artinya berpihak pada orang yang meminta cerai, karena ukurannya kecil mudah sekali pacung (pepas) oleh benda tajam. Sedangkan yang terlalu besar akan susah juga untuk putusnya (berpihak pada yang tidak mau bercerai).
Rotan yang dijadikan simbol sah tidaknya perceraian. Selanjutnya cara pelaksanaannya, masing-masing pihak laki-laki dan perempuan calon yang akan bercerai memegang ujung masing-masing rotan tersebut. Bagian pangkal dipegang oleh laki-laki dan bagian pucuk dipegang oleh perempuan. Setelah itu mereka dibawa ke tengah orang-orang yang menyaksikannya dilanjutkan ke pemancungan (pepas) rotan tersebut bagian tengahnya oleh kepala suku. Andaikan tidak putus maka perceraian ditunda (tidak sah), kalau ternyata putus maka pada saat itu mereka sah putus hubungan suami istri (bercerai)  dan putusnya rotan tidak bisa disambung kembali ( tidak boleh rujuk kembali).



KEMATIAN 

Kematian bagi masyarakat suku anak dalam merupakan kutukan yang harus dihindari. Artinya apabila ada keluarga yang skait tidak sembuh-sembuh maka tiada jalan lain bagi mereka adalah meninggalkan si sakit sendirian, apakah diletakkan ditengah hutan atau ditinggalkan dimana ia sakit. Kebiasaan ini adalah supaya yang lain (anggota keluarga yang lain ) tidak kena sakit yang sama. Si sakit yang ditinggalkan biasanya juga diberi perlengkapan seperti : Parang/tombak, pisau, sedikit makanan dan obat-obatan dari dedaunan.
                Andaikan terjadi kematian diantaran keluarga mereka, maka mayat ttersebut ditinggalkan ditengah hutan dengan membuat sebuah panggung yang tinggi, maksudnya tidak lagi menghuni daerah tersebut beberapa tahun lamanya. Dahulu kala kebiasaan mereka meninggalkan mayat di pondok dan mereka melakukan melangun (perjalanan). Mayat yang ditinggalkan hanya ditutupi sedikit dengan daun-daunan, dan didekat  mayat ditanam sebatang pohon kayu yang bertunas. Kebiasaan melangun ini dahulunya adalah sebagai wujud kesedihan yang dalam. Perpindahan ini dengan membawa peralatan mereka. Beberapa tahun kemudian barulah mereka kembali ketempat semula dengan tanda-tanda pohon yang ditanam tersebut.


Catatan Penting :
1.    Ciri-ciri suku anak dalam perempuan
·     Dada tertutup mencirikan masih gadis/perawan
·     Dada terbuka berarti sudah kawin/bersuami
2.    Ciri-ciri Jalan
Cara berjalan suku anak dalam baik laki-laki maupun perempuan, sekalipun sudah memakai pakaian akan terlihat dari cara berjalan yaitu pada posisi kaki didepan segitiga (tapak bagian depan bertemu, dan lutut atas merapat) artinya kebiasaan menguak semak (merebahkan batang pohon kecil untuk berjalan).
3.    Ciri Bentuk Dada (Umum)
Dada membusung kedepan dan lengan tangan agak kebelakang.
4.    Ciri berpakaian
Walaupun dahulunya mencirikan tidak memakai baju yang kita kenal hanya memakai cawat. Kini sulit ditemui ditengah kota yang demikian. tetapi ditengah hutan (rimba) hal yang demikian masih bisa kita temui.





DAFTAR BACAAN

Jacub, Jasin, & M. Soedarmanto, KA, 1977.
Mengenal Masyarakat Kubu di Jambi. Penerbit:  CV. Rosda. Bandung. 

Muzakir, Dkk, 1996.
Pembinaan Suku Terasing. STKIP YPM Bangko.

Saudagar, Fachruddin, 1992.
Muara jambi diantara Melayu dan Sriwijaya, makalah dalam forum diskusi ilmiah mahasiswa. FKIP UNJA.

Soeweno, Inten, Menteri Sosial RI, 1993
Peranan pembinaan masyarakat pedalaman dalam memacu peningkatan kesejahteraan. Pekanbaru.

______, 1994
BukuPanduan MTQ ke-25 Tingkat Provinsi Jambi. Pemda TK II. Sarko.

______, 1969
Jambi dalam laporan. Pemda TK I. Jambi.

Nurtain, 1986
Kepemimpinan di masyarakat material minangkabau. IKIP Padang.

Efprianto, 1996
Mengenal Masyarakat Suku Kubu di Provinsi Jambi. Penerbit: STKIP YPM Bangko.


RIWAYAT PENULIS
Nama               :           Efprianto, S.Pd.,M.Pd
Lahir              :           Sarko , 18 September 1968
Pendidikan         :
        SD 132 / V Bangko VI 1982
        SMP N.1 Bangko 1985
        SMA N.1 Bangko 1988
       (S1) FKIP-PDU (PIPS ) Unja 1994
       (S2)


Pekerjaan          :           Staf Pengajar / Ketua Jurusan PUPS STKIP YPM Bangko
Orang Tua          :
                  Ayah              :           Subahan
                  Pekerjaan         :           Kantor SOSPOL Kab. Sarko
                  Ibu               :           Nurbaiti
                  Pekerjaan         :           IRT
                  Istri             :           Ernawati
                  Pekerjaan         :           IRT

Jumlah Komentar

Author

Halo Merangin

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply